Alhamdulillah, tulisan al-Ustadz Dzulqornain yang terfokus akhirnya datang juga. Dan Alhamdulillah al-Ustadz sudah merubah “gaya” bicaranya, sehingga lebih sopan dan santun. Meskipun ajakan “dialog terbuka” yang saya ajukan tidak digubris oleh beliau, akan tetapi tidak mengapa. Akan tetapi saya masih tetap mengajak beliau untuk berdialog, dari pada orang awam membaca bantahan yang tidak nyambung yang kurang bermanfaat bagi mereka. Saya rasa mudah bagi Al-Ustadz dan sangat berani untuk berdialog dengan saya apalagi saya berakal pendek di mata al-Ustadz?.
Berikut tanggapan terhadap tulisan Al-Ustadz :
Pembagian ahlil hadits menjadi mutasyaddid, mu’tadil, dan mutasaahil sudah ada sejak dahulu. Diantara perkataan para ahli hadits tentang hal ini adalah :
Ali bin Al-Madini berkata :
إذا اجتمع يحيى بن سعيد وعبد الرحمن بن مهدي على ترك رجل لم أحدث عنه فإذا اختلفا أخذت بقول عبد الرحمن لأنه أقصدهما وكان في يحيى تشدد
“Jika berkumpul Yahya bin Sa’id dan Abdurrahman bin Mahdi untuk meninggalkan seseorang maka aku tidak akan menyampaikan dari orang tersebut. Dan jika mereka berdua berselisih maka aku akan mengambil perkataan Abdurrahman, karena ia yang lebih tengah, dan ada tasyaddud pada Yahya” (Lihat : Tariikh Baghdaad 10/243, Tahdzib Al-Kamaal 17/438, Tahdzibb At-Tahdziib 6/252).
Beliau juga berkata :
عفان وأبو نعيم لا أقبل قولهما في الرجال، لا يدعون أحدا إلا وقعوا فيه
“Affan dan Abu Nu’aim tidak aku terima perkataan mereka berdua tentang rijal, karena mereka tidaklah meninggalkan seorangpun kecuali mereka mencelanya”.(Siyar A’laam an-Nubalaa 10/250)
Adz-Dzahabi mengomentari perkataan ini :
يعني: أنه لا يختار قولهما في الجرح لتشديدهما، فأما إذا وثقا أحدا فناهيك به.
“Yaitu Ibnul Madini tidaklah memilih perkataan mereka berdua dalam al-Jarh karena tasyaddud keduanya. Adapun jika mereka berdua men-tautsiiq- (menta’dil) seseorang maka cukuplah bagimu” (Siyar A’laam an-Nubalaa 10/250)
Lihat juga pembagian ini di kitab ” ذِكْرُ مَنْ يُعْتَمَدُ قَوْلُهُ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ” karya Adz-Dzahabi rahimahullah.
Jika melihat dan menelusuri sepak terjang Syaikh Robi, maka tidak ada keraguan bahwa beliau digolongkan sebagai mutasyaddid. Diantara perkara-perkara yang menunjukkan bahwa Syaikh Robi’ mutasyaddid adalah :
PERTAMA : Perkataan Syaikh Robi’ keras jika dibandingkan dengan perkataan para ulama kibar
Untuk mengetahui seseorang mutasyaddid maka kita melihat hukum-hukum dan perkataan-perkataan orang tersebut terhadap rijaal lalu kita bandingkan dengan perkataan para ulama yang mu’tadilun. Jika hukum-hukumnya sesuai dengan hukum para imam yang mu’tadil maka ia digolongkan sebagai mu’tadil. Akan tetapi jika ternyata hukum-hukumnya lebih keras bahkan menyelisihi hukum para imam yang mu’tadil maka ia adalah termasuk mutasyaddid. Karenanya tatkala Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan tentang para imam yang mutasyaddid (muta’annit) maka ia berkata :
يغمز الراوي بالغلطتين والثلاث
“Mencela seroang perawi (hanya) dengan dua kesalahan atau tiga kesalahan”
Sekarang kita akan mencoba menerapkan perkataan-perkataan Syaikh Robi’ terhadap para ulama dan para dai, lalu kita bandingkan dengan hukum para ulama yang disepakati bahwa mereka adalah mu’tadil (bersikap tengah dan tidak ekstrim).
Tentunya para ulama yang bisa dinilai sebagai para ulama yang mu’tadil adalah seperti tiga imam (Syaikh Bin Baaz, Syaikh al-Utsaimin, dan Syaikh Al-Albani), demikian juga para ulama al-Lajnah Ad-Daaimah, dan kalau memungkinkan kita masukan juga para ulama yang tergabung dalam Hai’ah Kibar al-Ulamaa.
Saya mengambil contoh seorang ulama yang sangat dicela dan dihina oleh Syaikh Robi’, yaitu Syaikh Ibn Al-Jibrin rahimahullah. Saya mengambil beliau sebagai contoh, karena jika dibandingkan dengan yang lainnya syaikh al-Jibrin mungkin dipandang lebih banyak kesalahannya, dibandingkan yang lain.
Syaikh Robi’ berkata tentang Syaikh Ibnu al-Jibrin rahimahullah
إخواني واضح
“Ibnu al-Jibrin ikhwani yang jelas“
(lihat http://www.youtube.com/watch?v=BEikc5oRRqM, menit ke 0:30)
Syaikh Robi berkata pada menit ke 2:13
ما هو عالم
“Ibnu Al-Jibrin bukan orang alim“
Pada menita ke 3:40 syaikh Robi berkata :
ضَيَّع دينَه وإسلامه
“Ibnu Al-Jibrin telah kehilangan agamanya dan Islamnya“
Pada menit ke 3:17, Syaikh Robi berkata :
لا يُصنَّف في السلفيين ولا في العلماء
“Ibn al-Jibrin tidak digolongkan dalam barisan salafiyin dan juga tidak di barisan para ulama“
Apakah celaan pedas dari Syaikh Robi ini disepakati oleh para ulama yang mu’tadil??
Pertama : Al-Mufti Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafizohulloh
Tatkala beliau ditanya : Apa pendapat anda tentang Abdullah bin Al-Jibrin, apakah ia termasuk ulama atau bukan, mengingat ada orang yang mencelanya..??
Al-Mufti menjawab : “Wahai saudara-saudaraku Samahatus Syaikh (Syaikh yang mulia) Abdullah bin al-Jibrin termasuk salah seorang dari saudara-saudara kami para penuntut ilmu yang dikenal dengan ilmu dan mengamalkannya, dan dikenal dengan pengajian-pengajiannya yang ilmiyah….beliau termasuk orang-orang sholeh…pembawa al-Qur’an, Faqih dalam agama…memiliki adab yang baik, akhlak yang mulia, tawadhu’ yang besar, dan tidak boleh seorang muslim untuk menyibukkan dirinya dengan mencela kehormatan para ulama tanpa dalil, ini merupakan kekurangan iman…” (dengar selengkapnya di http://www.youtube.com/watch?v=CSzBcu0V-jI)
Kedua : Syaikh Sholeh Al-Fauzan
Beliau ditanya : “Ini adalah pertanyaan yang banyak berulang-ulang, ada orang yang mencela sebagian masyayikh, seperti Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin rahimahullah, lalu mensifati beliau dengan sifat-sifat yang tidak pantas, maka apa nasehat anda terhadap orang-orang seperti ini, dan apa nasehat anda terhadap orang-orang yang menjadikan celaan terhadap para ulama dan para dai kesibukan mereka?”
Syaikh Sholeh Al-Fauzan menjawab : “Mereka tidaklah memberi kemudorotan kecuali kepada diri mereka sendiri, mereka tidak memberi kemudorotan kepada para masyayikh, mereka tidak memberi kemudorotan kecuali kepada diri mereka sendiri. Kalau seandainya sebagian masyayikh memiliki sebagian kesalahan maka jika masih hidup dinasehati, dan jika sudah meninggal maka didoakan ampunan baginya, karena ia adalah saudaramu. Engkau mohonkan ampunan baginya, ganjaran dan pahala untuknya” (Silahkan dengar lengkapnya di http://www.youtube.com/watch?v=qz9HtzgB3VQ)
Lihatlah….meskipun taruhlah syaikh Al-Jibrin memiliki kesalahan, akan tetapi sikap yang benar adalah bukan mencelanya dan mengatakan ia bukan orang alim.
Ketiga : Syaikh Abdul Karim Al-Khudoir (Anggota al-Lajnah ad-Daaimah dan Kibar al-Ulama)
Tatkala beliau ditanya tentang orang-orang yang mencela Syaikh ibn Al-Jibrin (diantara yang mencela adalah Syaikh Robi’) maka beliau berkata : “Orang yang mencela Syaikh al-Jibrin adalah perampok” (silahkan dengar selengkapnya di http://www.youtube.com/watch?v=IlDBv2cHYVU)
KEDUA : Sikap Ulama Kibar yang tidak setuju dengan Manhaj Syaikh Robi’ dalam Mentahdzir dan Mentabdi’ sesama ahlus sunnah??
Diantara hal yang menunjukkan bahwa syaikh Robi’ mutasyaddid adalah bahwasanya para ulama kibar tidak setuju dengan beliau dalam hal tahdzir-mentahdzir apalagi mentabdi’ sesama ahlus sunnah.
Nukilan-nukilan diatas (dari Al-Mufti, Syaikh Sholeh Al-Fauzan, dan Syaikh Abdul Karim Al-Khudair) sebenarnya sudah cukup. Akan tetapi nukilan dibawah ini semakin jelas karena terfokuskan langsung kepada Syaikh Robi’.
Pertama : Pengingkaran Al-Mufti :
Seorang penanya dari Libia (yang bernama Salim) bertanya dalam acara televisi kepada Mufti Arab Saudi Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh
Penanya : Wahai Syaikh, apakah kami mengambil ilmu dari orang yang ditajrih (ditahdzir dan dijatuhkan-pen)?. dia ditajrih, apakah boleh kami mengambil ilmu darinya?
Pembawa acara : Baik, pertanyaanmu apa?
Penanya : Bolehkan kami mengambil ilmu darinya wahai Syaikh?
Pembawa acara ; Siapakah yang mentajrih (menjatuhkan) orang ini?
Penanya : Asy-Syaikh Robi’ wahai Syaikh.
Pembawa acara : Baik, Syukron wahai Salim. Wahai Syaikh yang Mulia, seorang penuntut ilmu tatkala dikatakan kepadanya –apakah dari seorang yang tsiqoh atau selain itu- : bahwasanya si fulan di jarh atau padanya ada penghalang untuk diambil ilmu darinya, maka bagaimana ia mengeceknya…
Jawaban Mufti:
المفتي: والله يا أخي! القضية هذه -أحيانًا- تكون هوًى، تجريح الناس، سبهم يكون -أحيانًا- يصحبه هوى، والمصالح الشخصية، وأنا ما أحب الدخول في هذه الأشياء
أقول: طلاب العلم يُرجى لهم الخير، وإذا شعرنا بشيءٍ من الخطأ؛ ناقشناه إن تمكنا، أو سألنا من نثق به عن هذا الخطأ.
أما التجريح في الناس، وذم الناس، وتقسيم الناس -هذا ما يصلح، هذا يصلح-؛ فكثير منها .. هوى، وسباب المسلم فسوق، واحترام أعراض المسلم واجبة
“Demi Allah ya akhi, perkara ini –terkadang- adalah hawa nafsu, menjarh orang-orang, mencela mereka –terkadang- disertai hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan pribadi. Dan aku tidak suka masuk dalam perkara-perkara seperti ini.
Aku katakan, para penuntut ilmu diharapkan kebaikan bagi mereka. Jika kita merasa ada suatu kesalahan maka kita dialog dengannya jika memungkinkan, atau kita bertanya kepada orang kita percayai tentang kesalahan ini. Adapun menjarh orang-orang, mencela orang-orang, mengklasifikasi orang-orang, ini tidaklah benar, ini tidak dibenarkan. Kebanyakannya adalah hawa nafsu, mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan menghormati harga diri seorang muslim adalah kewajiban” (Silahkan lihat di http://www.youtube.com/watch?v=yY-1VztRDes)
Kedua : Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, yang memberi nasehat yang sangat banyak dan pedas kepada Syaikh Robi’ yang akhir-akhir ini membuat perpecahan diantara barisan salafiyin. (silahkan baca kembali di https://firanda.com/index.php/artikel/manhaj/546-ada-apa-dengan-radio-rodja-rodja-tv-bag-6-standar-ganda)
Tentu ini menunjukkan bahwa Syaikh Robi’ mutasyaddid
Ketiga : Syaikh Sholeh Al-Fauzan Hafizohulloh
Syaikh Al-Fauzan setuju dengan nasehat Syaikh Abdul Muhsin dalam kitabnya Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah yang ditujukan khusus untuk “Jama’ah Tahdzir”
Syaikh Fauzan menyuruh untuk meninggalkan Syaikh Robi’ dan Syaikh Abul Hasan karena khilaf mereka berdua.
Syaikh ditanya : “Telah terbit sebuah kitab karya Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, yang berjudul “Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah”, apakah anda telah membaca kitab ini?”
Syaikh menjawab : “Iya”
Penanya : “Bagaimana menurutmu syaikhona?”
Syaikh : “Baik, kalian tidak mau kelembutan?, kelembutan itu baik”
Penanya : “Akan tetapi sebagian syaikh kami berfatwa bahwa barang siapa yang membagi-bagi buku ini maka ia mubtadi’?”
Syaikh : (أبدا ما فيه إلا الخير والرفق مطلوب، ما كان الرفق في شيء إلا زانه، ارفقوا أحسن) : “Selamanya tidak benar, tidak ada dalam kitab tersebut kecuali kebaikan, dan kelembutan adalah sesuatu yang dituntut, tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya. Lembutlah kalian, itu lebih baik”
Penanya : Perkara yang terjadi antara dua syaikh, Syaikh Robi’ dan Syaikh Abul Hasan?
Syaikh : (اتركوهم كلهم عافاكم الله منهم اتركوهم والزموا طريقة اهل الحق ولا عليكم، المتنازعون تصلحون بينهم) : “Tinggalkanlah mereka, semoga Allah menyelamatkan kalian dari mereka, tingalkanlah mereka, dan lazimilah jalannya ahlul haq, tidak usah kawatir. Orang-orang yang berselisih kalian damaikan diantara mereka”
Silahkan dengar lengkapnya di (http://ia600806.us.archive.org/12/items/fawzan.abbad.sunnah.rabee3/fawzan.abbad.wma)
Hal ini menunjukkan bahwa Syaikh Al-Fauzan tidak setuju dengan sikap Syaikh Robi’ yang berselisih dengan Syaikh Abul Hasan, dan kita disuruh untuk meninggalkan mereka berdua dalam perselisihan tersebut.
KETIGA : Hukum-Hukum Yang Keras Terhadap Penyelisih Beliau
Diantara bukti bahwa Syaikh Robi’ mutasyaddid adalah pernyataan-pernyataan beliau yang keras terhadap para ulama dan dai yang menyelisihi beliau.
Berikut ini diantara pernyataan-pernyataan keras dan celaan-celaan Syaikh Robi (silahkan lihat di http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=34428) :
KEEMPAT : Pengaruh Keras Beliau di Indonesia;
Sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan mendapati para salafiyin saling bertengkar, saling mentahdzir, saling menuduh dusta. Guru mentahdzir murid, dan murid mentahdzir guru. Ini semua muncul dari Jama’ah Tahdzir. Kalau kita mau mengumpulkan satu persatu perselisihan mereka maka sangatlah banyak. Bahkan hingga saat ini hubungan antara mereka tidaklah mesra, antara al-Ustadz Luqman Ba’abduh cs dan al-Ustadz Dzulqornain cs.
Sejarah mencatat bahwasanya para jama’ah Tahdzir pernah –dan sebagian mereka masih- terjerumus dalam mudah mentahdzir, mudah berburuk sangka kepada saudara…menuduh dusta orang lain, akhirnya diapun balik dituduh dusta….!!!, Apakah ini agama yang diinginkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ??!!. Tali ukhuwwah hancur…bendera permusuhan dikibarkan..?? hingga kapan??!!. Mencari-cari kesalahan…hobi mentahdzir dan mentabdi’..??!!.
Padahal semuanya sama-sama mentahdzir dan mentabdi’ Yayasan Ihyaa At-Turots???
Padahal semuanya mengaku murid Syaikh Robi??!!
Berikut yang pernah terjadi :
– Al-Ustadz Muhammad As-Sewed cs yang telah menuduh suatu masjid di Jakarta sebagai masjid hizbi, ternyata keliru. Demikian juga tuduhan mereka terhadap al-Akh Al-Fadil Zainal Abidin sebagai hizbi ternyata keliru
– Tuduhan para ustadz Luqman, Muhammad as-Sewed, Askari yang tidak benar terhadap al-Ustadz Dzulqornain
– al-Ustadz Dzulqornain mengakui kesalahannya yang telah menuduh dusta al-Ustadz Askari
– Tuduhan ustadz Dzul Akmal yang tidak benar terhadap ustadz Luqman
– Sebaliknya ustadz Luqman minta maaf atas tahdzirannya terhadap Markaz-markaz di Solo, Riau, dan Makassar, demikian juga tuduhan sifat materialistis terhadap al-Ustadz Dzulqornain
Belum lagi kesalahan-kesalahan manhaj dalam masalah jihad…!!! (Silahkan baca di https://app.box.com/s/csr3q745otri2f1dl4bu)
Nah apakah setelah mereka berdamai tersebut mereka tidak bertengkar lagi ??!!. Ternyata hingga saat ini masih gontok-gontokan !!. Apakah ini adalah manhaj yang lembut dan mu’tadil??, ataukah manhaj mutasyaddid??
Seharusnya jika para Jama’ah Tahdzir sudah pernah sering ngawur menuduh orang lain maka hendaknya hal ini menjadi pelajaran bagi mereka untuk tidak mengulangi lagi, baarokallahu fiikum.
KELIMA : Fatwa Syaikh Robi’ yang keras tentang Radiorodja
Diantara yang sangat menunjukkan bahwa Syaikh Robi’ mutasyaddid, adalah pernyataan beliau bahwa yang mendengar Rodja adalah orang yang tidak menghargai aqidah dan manhajnya !!! Syaikh Robi berkata : “Barangsiapa yang masih menghormati manhaj dan aqidahnya maka hendaknya dia tidak mendengar mereka (radio Rodja), adapun barangsiapa yang tidak menghormati manhaj dan aqidahnya, maka silakan dia mendengarkannya.”).
Syaikh Robi juga berkata ((Orang-orang awam tetap harus diperingatkan dari bahaya radio Rodja. Karena salaf dulu juga mentahdzir orang awam dari bahaya ahlul bid’ah)) (lihat http://dammajhabibah.net/2013/09/26/kabar-gembira-untuk-salafiyyin-di-indonesia-nasehat-al-allamah-rabi-tentang-masalah-manhajiyyah-di-indonesia/)
Saya bertanya kepada al-Ustadz Dzulqornain, apakah antum menyetujui tahdziran seperti ini??. Apakah ini tidak disebut fatwa mutasyaddid?? Berapa banyak orang yang mendengar Radiorodja??, apakah mereka semua tidak menghormati aqidah dan manhajnya??!!!!
Bukankah fatwa antum bersebarangan dengan fatwa Syaikh Robi??. Menurut antum orang awam boleh mendengar radiorodja, karena radiorodja meskipun sesat tapi bisa bermanfaat, ibarat orang fajir yang membantu Islam !!. Sementara Syaikh Robi’ malah melarang orang awam mendengar Radiorodja??!!.
KEENAM : Perkataan Syaikh Robi’ tentang Ustadz Ja’far Umar Tholib
Diantara sifat kerasnya Syaikh Robi’ adalah sikap beliau terhadap al-Ustadz Ja’far Umar Tholib.
((Ketika ada yang mengatakan kepada asy-Syaikh Rabi’, bahwa sebagian ikhwah menutup pintu taubat bagi Ja’far ‘Umar Thalib, maka asy-Syaikh Rabi’ menyebutkan sebuah hadits tentang Khawarij :
يَخرُجُونَ مِنَ الدِّينِ ثُمَّ لاَ يَعُودُونَ إِلَيْهِ
Mereka keluar dari agama, kemudian tidak kembali lagi padanya
Kemudian beliau (asy-Syaikh Rabi’) berkata, “Aku telah menasehatinya, aku telah menasehatinya, aku telah menasehatinya, dan aku tidak berharap lagi”)) (lihat http://dammajhabibah.net/2013/09/26/kabar-gembira-untuk-salafiyyin-di-indonesia-nasehat-al-allamah-rabi-tentang-masalah-manhajiyyah-di-indonesia/)
Seharusnya Syaikh menegur para ikhwan yang menutup pintu taubat tersebut atas Ja’far Umar Tholib, bukan malah menyebutkan hadits tentang Khowarij bahwa mereka keluar dari agama dan tidak kembali lagi. Apalagi ditutup dengan perkataan “Aku tidak berharap lagi”. Ini akan semakin menguatkan perkataan para ikhwan yang menutup pintu taubat yang telah dibuka lebar oleh Allah subhaanahu wata’aala. Jika Fir’aun saja masih diutus kepadanya Nabi Musa dan Harun dan masih diharapkan taubatnya, bagaimana lagi dengan Ja’far Umar Tholib yang telah banyak berjasa kepada “Jama’ah Tahdzir”??. Allah berfirman :
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (٤٣)فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS Toha : 43-44)
KETUJUH : Manhaj Syaikh Robi : Membenci Ahlul Bid’ah Muslim 100 persen
Manhaj ini jika diterapkan sudah cukup untuk menunjukkan akan tasyaddud-nya syaikh Robi’ tanpa diragukan lagi. (Akan datang penjelasannya pada tulisan berikutnya)
KEDELAPAN : Penilaian Syaikh Al-Albani bahwa Syaikh Robi’ mutasyaddid
(silahkan baca kembali https://firanda.com/index.php/artikel/manhaj/539-ada-apa-dengan-radio-rodja-rodja-tv-bag-4-manhaj-syaikh-rabi-dalam-timbangan-manhaj-para-ulama-kibar)
Demikianlah dalil-dalil dan bukti-bukti bahwa Syaikh Robi’ mutasyaddid.
Adapun kritkan al-Ustadz Dzulqornain akan hal ini maka tanggapan saya sebagai berikut :
PERTAMA : Perihal Mencela Ulama !!
Al-Ustadz membawakan nukilan-nukilan indah tentang bahayanya mencela ulama. Lantas kenapa al-Ustadz tidak menerapkan terlebih dahulu kepada Syaikh Robi’ yang mencela Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin rahimahullah ???
Lalu setelah itu terapkanlah pada diri al-Ustadz yang mencela Syaikh Ali Hasan??!! Ataukah standar Ganda??!!
KEDUA : Perihal perkataan Syaikh Al-Albani
Al-Ustadz Dzulqornain berkata ((ada perbedaan antara nash ucapan Syaikh Al-Albâny dan kalimat Ustadz Firanda terhadap ucapan Syaikh. Ternyata, Syaikh Al-Albâny rahimahullâh berkata -sebagaimana nukilan dan terjemahan Ustadz Firanda, “Syaikh Al-Albânî : “Di semua kitabnya (Syaikh Rabî’) ada sikap syiddah (keras) !!”))
Lalu al-Ustadz berkata ((Tentulah berbeda antara fîhi syiddah ‘padanya ada sikap keras’ dan mutasyaddid ‘bersikap keras’. Dimaklumi bahwa kalimat Syaikh Al-Albâny maknanya lebih ringan daripada kalimat Ustadz Firanda.
Agar lebih jelas, keterangan dalam buku-buku Al-Jarh wa At-Ta’dîl membedakan antara frasa fîhi dha’f ‘padanya ada kelemahan’ dan kata dha’îf ‘lemah’. Juga dibedakan antara frasa fîhi nakârah ‘padanya ada bentuk kemungkaran’ dan kata mungkar. Demikian pula berbeda antara frasa fîhi kadzib ‘padanya ada kedustaan’ dan kata kâdzib/kadzdzâb ‘pendusta’. Bentuk pertama adalah lebih ringan daripada bentuk kedua.))
Komentar Firanda :
Saya rasa al-Ustadz bisa membedakan antara perkataan Fihi Syiddah (padanya ada kekerasan), dengan perkataan fi Kulli kutubihi syiddah (pada seluruh kitabnya ada kekerasan). Jika seseorang pada seluruh bukunya ada kekerasan maka apakah tidak dikatakan mutasyaddid??. Perkataan fihi syiddah, itu jika sesekali keras, berbeda dengan jika keras dalam setiap bukunya, maka pantas untuk dikatakan mutasyaddid !!. Sangat jelas Syaikh Al-Albani mengatakan seluruh buku Syaikh Robi’ ada syiddahnya, dan Syaikh Al-Albani menilai uslub Syaikh Robi’ adalah syiddah. Orang yang memiliki uslub syiddah dan seluruh bukunya ada syiddahnya dalam bahasa arab dinamakan “mutasyaddid”. Hal ini berbeda dengan orang yang sesekali keras, maka tidak pantas kita mengatakannya mutasyaddid secara mutlak. Akan tetapi jika syiddah sudah menjadi uslubnya dan nampak dalam tulisan-tulisannya maka tentu pantas disifati dengan mutasyaddid.
KETIGA : Perihal tazkiyah dan pujian para ulama terhadap Syaikh Robi’
Adapun pujian-pujian dan tazkiah para ulama terhadap syaikh Robi’ maka itu adalah sebelum Syaikh Robi’ berubah sibuk membantah sesama ahlus sunnah. Seperti pujian Syaikh Sholeh Al-Fauzan tatkala Syaikh Robi’ membantah Hasan bin Farhan Al-Maliki.
Akan tetapi coba lihat, apakah Syaikh Sholeh Fauzan memujinya tatkala membantah Abul Hasan Al-Ma’ribi?? (telah lalu penukilan perkataan Syaikh Sholeh Al-Fauzan untuk meninggalkan Syaikh Robi’ dan Syaikh Abul Hasan).
Demikian juga Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad memuji tulisan-tulisan Syaikh Robi’ yang dulu, adapun tulisan-tulisan sekarang yang sibuk menghabisi sesama ahlus sunnah maka dicela oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad.
Jadi menurut saya tulisan al-Ustadz belum nyambung benar…kalau bisa datangkan tazkiyah para ulama kibar tentang sikap-sikap Syaikh Robi’ yang mentahdzir dan mentabdi’??!!
KEEMPAT : Pernyatan Bahwa Manhaj Syaikh Robi’ sama dengan Manhaj Ulama Kibar
Hal ini sudah saya jelaskan, bahwa memaksakan samanya manhaj Syaikh Robi’ dengan manhaj Para ulama kibar adalah kedusataan yang sangat nyata. Saya harap al-Ustadz terfokus, karena pembicaraan terkhususkan tentang tasyaddud nya Syaikh Robi’ dalam mentahdzir dan mentabdi’ sesama Ahlus Sunnah. Apakah para ulama kibar seperti itu??. Telah saya nukilkan di atas bahwa para ulama kibar menyelisihi Syaikh Robi’.
Dan silahkan datangkan satu buku saja tulisan Syaikh Bin Baaz, atau Syaikh Utsaimin, atau Syaikh Al-Albani yang modelnya seperti Syaikh Robi yang tukang tahdzir dan tabdi’???!!. Adapun masalah aqidah dan yang lainnya secara umum sama. Dan inilah hakekat perselisihan antara pecinta Rodja dengan para Jama’ah Tahdzir, pada hakekatnya adalah masalah manhaj mentahdzir dan mentabdi’, bukan pada masalah aqidah dan tauhid !!!
Adapun mengenai murid-murid senior ketiga ulama tersebut, maka –saya tidak mengingkari bahwa Syaikh Robi’ dan Syaikh Ubaid Al-Jabiri adalah juga murid Syaikh Bin Baaz-, akan tetapi maksud saya adalah para murid-murid Syaikh Bin Baaz yang lama melazimi Syaikh Bin Baaz, apakah ada yang bermanhaj seperti Syaikh Robi??. Lagipula murid Syaikh Bin Baaz sangatlah banyak, bahkan sekitar 320 murid sebagaimana yang termaktub di (http://www.binbaz.org.sa/mat/21295). Nah coba perhatikan, apakah hanya Syaikh Robi’ dan Syaikh Ubaid yang bermanhaj dengan manhaj demikian??. Kemana yang 318 lainnya??!!!
KELIMA : Perihal membenci ahlul bid’ah muslim 100 persen
Pertama : Sekali lagi Al-Ustadz menuduh Firanda berdusta. Apalagi sampai al-Ustadz berkata ((di antara “kamus” kedustaan Ustadz Firanda)). Ya ustadz sudah jilid berapakah kamus dusta firanda yang antum susun ??!!. Apa kedustaan firanda begitu banyak sehingga dikamuskan segala??!! (senyuum…)
Al-Ustadz Dzulqornain berkata ((Jadi, Syaikh Rabî’ hafizhahullâh tidak mengatakan bahwa harus dibenci secara totalitas (100 persen), tetapi beliau hanya mengatakan, “Kita tidaklah mendapati adanya pembagian tersebut, (yaitu) pembagian hati pada masalah ahlul bid’ah, (menjadi) mencintai dari satu sisi, dan membenci dari sisi (lain).”
Ini adalah kedustaan jelas dari Ustadz Firanda terhadap Syaikh Rabî’. Tentunya sangat jauh perbedaan antara dua ibarat.))
Komentar Firanda : Wahai Ustadz kenapa cepat sekali engkau menuduh seseorang berdusta, terlalu banyak tuduhanmu yang tidak pada tempatnya. Sekarang saya bertanya kepada antum apa bedanya perkataan ana dengan perkataan Syaikh Robi’??.
Lantas :
– Buat apa Syaikh Robi’ membantah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan menyatakan beliau menyelisihi ijmak salaf??. Apa perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah mencintai ahlul bid’ah muslim??. Bahkan al-Ustadz juga berkata ((Dalam jawabannya, Syaikh Rabî’ juga menjelaskan alasan,
وقد ناقشنا هذه الفكرة في بعض الكتابات، الرد على أهل الموازنات، ومن يتعلق بالموازنات، ويتستر بكلام شيخ الإسلام ابن تيمية الذي يرى أن الانسان يُحَبُّ على قدر ما عنده من السنة، ويُبغض على قدر ما عنده من البدع. ورددنا على هذه الأشياء بكلام السلف، ومواقفهم، بل بإجماعهم.
“Kami telah mengkritik pemikiran ini pada sebagian tulisan-tulisan kami, (tentang) bantahan terhadap para pendukung muwâzanât dan orang-orang yang berpegang dengan muwâzanât, yang berlindung dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang memandang bahwa seseorang dicintai sesuai dengan kadar Sunnah yang ada padanya dan dibenci sesuai dengan kadar bid’ah yang ada padanya. Kami telah membantah hal ini dengan perkataan-perkataan dan sikap-sikap para Salaf, bahkan dengan ijma’ mereka.”))
– Buat apa perkataan Syaikh Robi’ ((Menurutku, tidak ada seorangpun manusia yang mampu untuk menggabungkan antara cinta dan benci, lalu membaginya menjadi dua. Benci sesuai dengan kadar kebid’ahannya dan cinta sesuai kadar sunnahnya yang masih tersisa. Ini adalah pembebanan perkara yang tidak dimampui.))??
– Buat apa perkataan Syaikh Robi’ ((Jika kita mengamati perkataan para salaf dan kita meneliti buku-buku sunnah, maka kita tidak mendapati adanya pembagian tersebut, yaitu pembagian hati menjadi mencintai dari satu sisi dan membenci dari sisi yang lain pada perkara Ahlul bid’ah. Kita tidak mendapati hal ini! Tidak pula kita dapati para salaf, kecuali mereka memotivasi untuk membenci dan meng-hajr (mengisolir/boikot) ahlul bid’ah. Bahkan sejumlah imam telah menyampaikan adanya ijmâ’ (kesepakatan) di dalam membenci ahlul bid’ah, meng-hajr dan memboikot mereka))??
Kedua : Al-Ustadz berkata ((Kedustaan Ustadz Firanda terhadap Syaikh Rabî’, bahwa ahlul bid’ah harus dibenci secara totalitas (100 persen), mengharuskan sejumlah konsekuensi batil, yang ucapan dan perbuatan Syaikh Rabî’ sangat bertentangan dengan konsekuensi tersebut. Di antara konsekuensi itu adalah:
1. Keharusan membenci 100 persen ahlul bid’ah, tidak boleh ada cinta dan belas kasih sedikit pun.
2. Seluruh ahlul bid’ah, baik yang bid’ahnya mengafirkan maupun tidak, adalah sama dan “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”, padahal Syaikh Rabî’ telah berkata, “Masing-masing (dibenci) sesuai dengan kadar bid’ahnya.”
3. Membenci kaum kuffar adalah sama seperti membenci ahlul bid’ah karena “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”,))
Firanda berkata :
Pernyataan al-Ustadz berangkat dari menuduh saya berdusta. Lalu terbayang dalam benak al-Ustadz bahwa kalau sama-sama dibenci 100 persen berarti derajat kebenciannya sama dong, antara ahlul bid’ah dan orang kafir??.
Al-Ustadz berkata ((padahal Syaikh Rabî’ sendiri berkata,
لكن البُغض يتفاوت، بُغض اليهودي أكثر من بُغض النصراني، نُبغض النصارى، ونُبغض اليهود، و لا نحبهم، ولكن اليهود أشد عداوة
“Akan tetapi, kebencian itu berjenjang. Kebencian terhadap orang-orang Yahudi adalah lebih besar daripada kebencian terhadap orang-orang Nashara. Kami membenci orang-orang Nashara. Kami membenci pula orang-orang Yahudi dan tidak mencintai mereka karena orang-orang Yahudi permusuhannya lebih keras (terhadap kaum muslimin) ….))
Firanda berkata :
– Justru perkataan Syaikh Robi’ ini sangat menunjukkan kalau ahlul bid’ah dalam aqidah Syaikh Robi’ harus dibenci secara total, sebagaimana membenci orang-orang kafir. Karenanya syaikh Robi’ menggandengkan kebencian terhadap ahlul bid’ah dengan kebencian terhadap orang kafir.
– Meskipun Kaum Nasrani dan Kaum Yahudi sama-sama harus dibenci 100 persen tapi Syaikh Robi’ membedakan tingkat kebencian diantara keduanya, benci 100 persen tehadap Yahudi lebih tinggi daripada benci total terhadap Nashrani. !!!. Ini menunjukkan kebencian total pun ada tingkat-tingkatannya !!!
Adapun konsekuensi-konsekuensi yang disebutkan oleh al-Ustadz maka bukanlah suatu kelaziman. Sebagai contoh :
Al-Ustadz berkata ((Ahlul bid’ah tidak perlu dinasihati karena “harus dibenci secara totalitas (100 persen)”. Padahal, Syaikh Rabî’ menulis buku-buku bantahan tersebut untuk menasihati mereka yang dibantah. Bahkan, banyak di antara mereka -yang sudah dibantah- telah dinasihati oleh Syaikh Rabî’ selama beberapa tahun sebelum bantahan ditulis terhadap mereka)).
Ini adalah konsekuensi yang tidak lazim, sebagai bukti banyak ulama yang benci total 100 persen kepada Kaum Kafir akan tetapi mereka menulis buku-buku yang menasehati mereka. Sebagai contoh buku karangan Ibnu Taimiyyah yang berjudul (الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح). Padahal Ibnu Taimiyyah memandang wajib membenci kaum kafir secara totalitas
Ketiga : Al-Ustadz berkata ((Jadi, kalau disimpulkan, Ustadz Firanda menuduh Syaikh Rabî’ bahwa “ahlul bid’ah harus dibenci secara totalitas (100 persen)”, sedang sebaliknya, madzhab Ustadz Firanda adalah bahwa ahlul bid’ah hanya dicintai sesuai dengan kadar keislaman dan keimananya, tetapi tidak dibenci sama sekali.
Berdasarkan simpulan Ustadz Firanda di atas, sangat jelas bahwa Ustadz Firanda juga berdusta atas nama Ibnu Taimiyah dan ulama kibâr, bahkan Ustadz Firanda terjatuh ke dalam kesalahan lain, yaitu mencocoki madzhab Murji`ah.))
Sungguh tuduhan yang dipaksakan…Allahul Musta’aan.
KEENAM : Perihal Kedustaan Syaikh Robi’ terhadap Salaf
Sungguh jelas pernyataan Syaikh Robi bahwa salaf tidak memandang maslahat dan mudorot. Berikut saya nukil kembali pernyataan beliau disertai pertanyaannya :
Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî ditanya
هل هجر اهل البدع والتضييق عليهم وعدم مخالطتهم باطلاق كما نقل السلف ودوّن الائمة في كتبهم ؟ ام هو على التفصيل وينظر كل شخص الى المصلحة والمفسدة وكل يرجع الى عقله مما يؤدي الى التمييع؟
Apakah menghajr Ahlul bid’ah dan menyempitkan (ruang gerak) mereka serta tidak bercampur dengan mereka adalah secara mutlak –sebagaimana dinukil oleh para salaf dan sebagaimana yang ditulis oleh para imam di buku-buku mereka?, ataukah praktek hajr sesuai perincian, dan masing-masing orang melihat kemaslahatan dan kemadhorotan, dan setiap orang kembali ke akalnya yang akhirnya mengantarkan kepada sikap mumayyi’ (lunak)?”
Syaikh Rabî’ menjawab :
لقد قال شيخ الاسلام رحمه الله ينظر الى المصلحة فيها ، والسلف ما قالوا هذا وشيخ الاسلام جزاه الله خيرا قال هذا وهو اجتهاد منه فاذا اخذنا بقوله ، فمن هو الذي يميز المصالح من المفاسد ؟ فهل الشباب وصلوا الى هذا المستوى ؟
الشباب اذا راع المصلحة فليبدأ بمراعات مصلحة نفسه وليحافظ ما عنده من الخير ويتبع منهج السلف ولا يعرض عقيدته ومنهجه للضياع كما حصل لكثير من الشباب الذين تلاعب بهم الاخوان المسلمون والقطبيون واهل البدع وقالوا نرعى المصالح والمفاسد ثم كل هذه الامور تهدر ولا يوجد عندهم مراعاة المصالح والمفاسد ، وعلى راس المصالح الذي يجب مراعاتها المحافظة على الشباب من ان يتخطفهم اهل البدع بشبهاتهم.
“Sungguh Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) rahimahullâh telah berpendapat perlunya menimbang kemasalahatan di dalamnya sedangkan para salaf tidak berpendapat seperti ini. Dan Syaikhul Islam –semoga Allah membalas kebaikan baginya- berpendapat demikian, dan ini adalah ijtihad dari beliau. Jika kita mengambil pendapatnya, maka siapakah yang mampu membedakan kemaslahatan dari kemudhorotan?. Apakah para pemuda sudah sampai pada tingkatan ini?.))
Sungguh sangat jelas pernyataan Syaikh Robi’ bahwa para salaf menyelisihi Ibnu Taimiyyah. Lantas begitu mudahnya al-Ustadz menuduh saya berdusta ??!!.
Adapun jika kemudian Syaikh Robi’ memandang perlunya melihat kemaslahatan maka itu pembahasan yang lain. Yang saya sorot adalah pernyataan beliau bahwa Ibnu Taimiyyah menyelisihi para salaf, karena salaf tidak memandang maslahat dan mudorot, akan tetapi mereka menghajr secara mutlak.
Sehingga Syaikh Robi’ menyatakan bahwa sikap salaf lebih hati-hati (yang menghajr secara mutlak). Namun menurut beliau kalau jelas ada kemaslahatan maka tidak mengapa tidak mengamalkan pendapat salaf.
بارك الله فيك ياشيخ اذا الواجب علينا ان نعمل بقول السلف وليس بقول شيخ الاسلام ابن تيمية رحمه الله خاصة في زماننا هذا الذي صار فيه الجلوس لاهل البدع شعارا للعلم والله المستعان ؟
Penanya : Semoga Allah memberkahi Anda ya Syaikh, jika demikian yang wajib bagi kita adalah mengamalkan pendapat para salaf dan bukan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh, -terutama di zaman kita sekarang ini yang bermajelis dengan ahlul bid’ah merupakan syi’arnya ilmu, Allahul musta’ân-“?
Syaikh Robi’ menjawab :
الذي يقوله السلف هو الاحوط بالتجربة ووالواقع ، والمصلحة والمفسدة اذا ادركها العالم فليستخدمها، اما الصغير ما يستطيع اذا ادركها العالم المحصن لا بعض العلماء قد يكون ضعيف الشخصية فتخطفه البدع كما حصل لعدد لكثير من الاكابر خطفتهم البدع بسهولة فهناك صنفان من العلماء عالم تاكد من نفسه أن عنده قوة حجة وقوة شخصية وانه يستطيع ان يؤثر في اهل البدع ولا يؤثرون فيه فهذا يخالطهم على اي اساس ياكل ويشرب ويضحك معهم ؟ لا . يخالطهم للنصيحة ياتي الى مساجدهم الى مدارسهم ياتي الى اسواقهم ويعطيهم الحق ويناظرهم ان كانوا يستطيع المناظرة ويقيم عليهم الحجة. اما الضعيف المسكين من العلماء لا ، وكذلك الشاب الناشئ المعرض للضياع . لا بارك الله فيكم فهذا ما يمكن ان يجمع به ما بين ما يقوله شيخ الاسلام بن تيمية وما يقوله السلف رضي الله عنهم جميعا
“Pendapat salaf lebih hati-hati berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Penentuan kemaslahatan dan kemudhorotan, jika bisa difahami oleh seorang yang alim maka hendaknya ia menggunakannya. Adapun penuntut ilmu pemula tidaklah mampu memahaminya seperti seorang alim yang terbentengi. Bukan, sebagian ulama, terkadang pribadinya lemah sehingga mudah disambar oleh bid’ah sebagaimana yang terjadi pada banyak orang-orang besar, mereka disambar oleh bid’ah-bid’ah dengan begitu mudahnya))
Firanda berkata : Jika ternyata Salaf juga memandang maslahat dan mudorot tatkala menghajr, lantas kenapa menurut Syaikh Robi’ bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah??!!
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 09-01-1435 H / 13-11-2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com